By Suryo, SOLARENERGI.ID – Dalam mengendalikan perubahan iklim, para pemimpin dunia gencar melaksanakan program pengendalian dan pengurangan emisi gas karbon dioksida agar dapat mencapai terwujudnya emisi nol karbon setidaknya pada tahun 2050. Dalam beberapa pendapat bahwa tidak ada jalan tunggal untuk mencapai tujuan tersebut, tetapi banyak teknologi yang dipelopori oleh beberapa perusahaan di sektor energi, transportasi, lingkungan hidup dan teknologi informasi yang saling berkolaborasi untuk dapat memainkan perannya masing-masing dalam mencapai tujuan penurunan signifikan dalam emisi karbon global, sehingga dapat membatasi pemanasan global hingga 1,5°C, pada dua dekade mendatang.
Mengutip laman spectra.mhi.com, dalam sebuah penelitian terbaru bahwa Supercharging Net Zero mensimulasikan tindakan mendesak yang diperlukan untuk membatasi pemanasan suhu bumi hingga 1,5 derajat. Ini juga menyoroti peluang komersial yang substansial bagi investor sektor swasta dan perusahaan energi yang berkomitmen untuk mendorong terwujudnya pemanfaatan energi berkelanjutan secara luas dan optimal penerapannya. Ini juga menjadi perhatian bersama bagi pengguna energi untuk lebih meningkatkan konsumsi energi yang bersumber dari energi baru dan terbarukan sehingga diperlukan komitmen bersama baik pemilik, pemasok sumber energi, pembuat regulasi, hingga pengguna energi.
Sederhananya, Net Zero Carbon berarti bahwa siklus hidup proyek emisi gas rumah kaca dari semua sumber harus berjumlah nol, atau kurang sehingga mampu membatasi pemanasan suhu bumi hingga 1,5°C, pada akhir abad 21. Sumber-sumber yang dimaksud termasuk : ·
- Dampak siklus hidup dari energi dan pemanfaatan air·
- Dampak siklus hidup konstruksi, termasuk ekstraksi bahan, manufaktur, transportasi ke lokasi, pemasangan dan pemborosan, perbaikan, penggantian, dan pemrosesan akhir masa pakai·
- Manfaat (penghindaran dampak dari) energi yang diekspor dari proyek ke pengguna lain·
- Manfaat (penghindaran dampak dari) penggunaan kembali material setelah proyek dihentikan·
- Manfaat dari karbon yang diasingkan secara permanen (jika ada)
Beberapa fenomena alam yang telah terjadi salah satunya berupa panas ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim telah memicu timbulnya titik api pada sebagian kawasan hutan sehingga kebakaran hutan sulit untuk dihindari, karena pada saat yang sama didaerah yang lain terjadi tingginya kenaikan curah hujan yang berdampak terjadinya banjir.
Karena kerusakan terkait cuaca menjadi lebih sering, dunia tidak lagi berada di tempat dimana pengurangan karbon dioksida (CO₂) saja akan cukup untuk membalikkan kerusakan akibat perubahan iklim melalui serangkaian aksi nyata yang dibutuhkan komitmen semua pihak dari seluruh negara di dunia.
Menurut diskusi panel antar pemerintah tentang Perubahan Iklim / Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), penghilangan CO₂ sekarang menjadi bagian penting untuk menjaga pemanasan global di bawah 1,5°C.
Emisi CO2 nol bersih pada tahun 2050, apa yang bahkan setahun lalu tampak sebagai visi yang jauh menjadi realistis atau mungkin secara teknis namun saat ini menjadi kenyataan yang harus dipersiapakan dan dilaksanakan dengan pemantauan yang lebih intens. Tetapi meskipun secara teknis memungkinkan, jalan menuju netralitas karbon tidak sesederhana apa yang direncanakan atau dibayangkan dalam kesepakatan yang ada pada diskusi panel antar pemerintah tentang perubahan iklim.
“Campuran pendekatan akan diperlukan, termasuk elektrifikasi, energi terbarukan dan bahan bakar fosil yang lebih bersih, tergantung pada karakteristik seperti situasi geografis, tingkat industrialisasi dan banyak kebutuhan masyarakat lainnya.”
Tantangan khusus adalah industri, yang menurut IEA World Energy Outlook 2019 akan menghasilkan 29% dari konsumsi akhir dan 42% emisi langsung terkait energi dan proses CO2. Industri berat seperti baja, semen, dan produksi kimia untuk produk seperti plastik dianggap sulit diredam, karena banyak dari prosesnya tidak dapat dialiri listrik dengan mudah, atau membutuhkan bahan bakar fosil sebagai bahan bakunya.
Teknologi untuk mendekarbonisasi sebagian besar sektor energi, transportasi, industri , pertanian secara teoritis atau ilmiah ada, namun ada yang masih dalam pengembangan yang berakibat ada teknologi yang belum mampu menghasilkan emisi nol bersih. Hal ini tentunya perlu dukungan dari pembuat kebijakan dan insentif agar dapat menghasilkan permintaan akan produk dari sektor industri yang rendah karbon atau nol karbon sehingga produk yang dihasilkan mampu mendorong terwujudnya nol karbon.
“Ketika transisi energi mendapatkan momentum, teknologi pemanfaatan dan penyimpanan penangkapan karbon dioksida / carbon capture, utilization and storage (CCUS) mewakili bagian penting dari upaya global untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050.”
Untuk mewujudkan potensi penuh CCUS, dua tantangan utama harus diatasi , antara lain :
Pertama, kapasitas penangkapan CO2 global perlu meningkat hampir 200 kali lipat dalam dua dekade mendatang, menurut laporan roadmap Net Zero tahun 2050 dari IEA. Meskipun ini merupakan tantangan yang signifikan, momentum tumbuh untuk memperbanyak implementasi dan menurunkan biaya.
Kedua, untuk mewujudkan pertumbuhan pesat tersebut, pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan lainnya perlu menciptakan kerangka kerja yang merangsang investasi di sepanjang rantai nilai CCUS. Ini akan memungkinkan penggunaan karbon dioksida yang ditangkap dalam aplikasi industri, pertanian, dan lainnya.
Untuk mencapai target nol karbon 2050 untuk emisi karbon dioksida, setiap negara harus benar-benar mampu mengurangi CO2 yang saat mengalir ke atmosfer sesuai target setiap tahunnya. Namun jika terjadi pertumbuhan yang sangat significant terhadap pemanfaatan energi terbarukan dan sumber energi bebas karbon lainnya maka perlu terus dilanjutkan dan secara bertahap akan melakukan pengurangan konsumsi penggunaan energi yang berasal dari non energi bersih hingga tercapai penggurangan CO2 yang mengalir ke atmosfir.
Saat ini dikembangkan teknologi yang mampu mengurangi dan menghilangkan emisi gas karbon dioksida dengan cara penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon (CCUS), yang diakui oleh Badan Energi Internasional (IEA) sebagai pilar utama dalam transisi energi.
Proses ini memerangkap lebih dari 90% CO2 dalam gas buang yang dikeluarkan oleh pembangkit listrik atau pabrik industri yang sulit dihilangkan dan karbon kemudian dapat disimpan di bawah tanah atau digunakan oleh industri.