News

IPB dan GIZ Jerman Kaji Integrasi HCVF untuk Perizinan Lingkungan Kebun Sawit

263
×

IPB dan GIZ Jerman Kaji Integrasi HCVF untuk Perizinan Lingkungan Kebun Sawit

Sebarkan artikel ini
ipb university
Source: IPB

SOLARENERGI.ID – Tim peneliti di Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University, menghasilkan konsep dan modul pelatihan terkait integrasi pendekatan High Conservation Value Forest (HCVF) ke dalam perizinan lingkungan untuk perkebunan kelapa sawit. Mereka adalah Prof Hefni Effendi (Kepala PPLH), Dr Tjahjo Tri Hartono, Rais Sonaji, SP, MSi, Atep Hermawan, SPi dan Cecep Saepulloh, SHut.

Menurut Hefni, tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan saran serta memfasilitasi lembaga nasional utama dalam merumuskan pedoman nasional untuk memasukkan pendekatan HCVF ke dalam proses perizinan lingkungan. “Penelitian ini dilaksanakan atas kerja sama PPLH IPB University dengan Kerjasama Teknik Indonesia-Jerman (GIZ / The Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit),” jelas Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB University ini.

Hefni menyatakan, pengembangan perkebunan kelapa sawit telah diidentifikasi sebagai salah satu sumber utama deforestasi di Indonesia. Identifikasi, pemantauan dan pengelolaan lahan berhutan di kawasan yang memenuhi syarat untuk pengembangan kelapa sawit sangat penting untuk memutuskan kondisi deforestasi dari perkebunan kelapa sawit.

“Sejak pertengahan 1990-an, sejumlah kelompok pemerhati lingkungan dan ilmuwan memprakarsai konsep hutan bernilai konservasi tinggi (HCVF). Sementara itu, beberapa peraturan memperluas definisi kawasan konservasi di luar hutan konservasi dan kawasan hutan negara, dasar hukum untuk melestarikan kawasan HCVF dan koridor satwa liar yang teridentifikasi adalah suatu tantangan,” ujar Hefni, seperti dilansir laman IPB.

Berdasarkan UU Tata Ruang (UU 26/2007) dan peraturan turunannya, menurut Hefni, kawasan lindung di kawasan yang memenuhi syarat untuk pengembangan kelapa sawit—di luar kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan negara—dibatasi pada kawasan sempadan sungai dan kawasan rawan bencana.

“Artinya, beberapa kawasan HCVF dan koridor satwa yang tidak memenuhi kriteria peraturan perundang-undangan tata ruang tidak terlindungi dengan baik. Cakupan kedua peraturan Ditjen Konservasi ini hanya untuk identifikasi kawasan, bukan untuk perlindungan atau pengelolaan,” jelasnya.

Oleh karena itu, jelas Hefni, salah satu solusi yang memungkinkan untuk memperkuat landasan hukum dalam melestarikan HCVF dan kawasan koridor satwa liar adalah dengan memasukkan dua peraturan Direktorat Jenderal Konservasi ke dalam proses perencanaan tata ruang dan proses perizinan lingkungan. “Dengan demikian, identifikasi, pemantauan dan pengelolaan kawasan HCVF dan koridor satwa akan menjadi bagian penuh dari proses formal dalam sistem perizinan lingkungan,” tuturnya.

Dalam kasus Kalimantan Timur, ungkap Hefni, ada beberapa inisiatif untuk mengidentifikasi kawasan HCVF di seluruh wilayah yurisdiksi. Inisiatif tersebut menghasilkan peta indikatif kawasan HCVF.

“Kondisi terbaru adalah studi yang dilakukan oleh Universitas Mulawarman pada tahun 2017. Inisiatif lainnya adalah Deklarasi Perkebunan Berkelanjutan. Itu ditandatangani pada September 2017 oleh gubernur dan bupati di provinsi tersebut untuk menghemat 650.000 ha lahan hutan di area yang memenuhi syarat untuk pengembangan kelapa sawit,” ujar Hefni.

Menurutnya, beberapa diskusi dengan pemerintah provinsi dan kabupaten terpilih menunjukkan kesepakatan. Yakni berupa gagasan untuk memasukkan pendekatan HCVF ke dalam proses perizinan lingkungan. Namun, pedoman dari tingkat nasional tentang bagaimana mewujudkannya perlu dikaji lebih lanjut.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *