By Suryo
SOLARENERGI.ID – Suatu pembangkit listrik diukur performanya berdasarkan suatu nilai yang disebut dengan Heat Rate dengan satuan yang biasa digunakan adalah kcal/kWh, parameter tersebut merepresentasikan nilai energi input dibandingkan dengan energi yang dihasilkan dalam kilo watt hour (kWh).
Secara umum heat rate didefinisikan sebagai total panas input yang masuk ke dalam sebuah system atau proses produksi energi dibagi dengan total daya yang dibangkitkan oleh system atau proses energi tersebut, dengan satuan BTU/kWh atau kJ/kWh atau kcal/kWh (satuan yang biasa dipakai oleh industri pembangkitan listrik di Indonesia seperti di PLTU, PLTG, PLTD).
Sedangkan Net heat plant race (NPHR) adalah jumlah energi input yang dibutuhkan untuk menghasilkan energi listrik dari pembangkit listrik (PLTU, PLTG, PLTGU) , jadi semakin tinggi nilai NPHR semakin rendah efisiensi termal pembangkit listrik tenaga uap. Untuk mendapatkan nilai performance pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang terbaik perlu mengetahui secara langsung nilai kalor thermal netto (NPHR) dari PLTU.
”Jadi Net Plant Heat Rate (NPHR) merupakan nilai yang merepresentasikan jumlah energi yang digunakan untuk menghasilkan energi listrik oleh generator setelah dikurangi dengan konsumsi listrik untuk peralatan bantu pembangkit ”.
Misalkan suatu PLTU kapasitas 800 MW memiliki heatrate sebesar 2.950 kcal/ kWh, maka PLTU tersebut dalam memproduksi energi listrik setiap kWh membutuhkan energi sebesar 2.950 kcal, sehingga apabila pembangkit tersebut dalam proses memproduksi uap di boiler menggunakan batubara dengan nilai kalor 4.300 kcal/ kg maka untuk memproduksi listrik 1 GWh membutuhkan berpa ton batubara ?
Jawaban :
Produksi listrik PLTU per kWh membutuhkan 2.950 kcal
Nilai kalor batubara sebesar 4.300 kCal/kg. sehingga untuk memproduksi listrik 1 kWh
membutuhkan : ( 2.950 / 4.300 ) = 0,686 kg batubara .
Sehingga untuk memproduksi 1 GWh atau 1.000.000 kWh membutuhkan batubara sebanyak : 1.000 .000 x 0,686 kg = 686.000 kg atau 686 ton.
Apabila harga batubara per ton sesuai DMO untuk nilai kalor 5.600 kcal sebesar 70 USD ( kurs 1 $ = Rp, 14,250 ) maka biaya pembelian batubara untuk memproduksi energi listrik sebesar 1 GWh.
sebesar : 686 ton x 70 $ x Rp.14.250 x (4.300 /5.600) = Rp 525.433.125
sehingga biaya pembelian energi primer ( batubara) untuk proses produksi listrik per kWh pada PLTU kapasitas 800 MW dengan heat rate sebesar 2.950 kcal/kWh sebesar Rp. 525.433.125 /1.000.000 kWh = Rp 525,4 / kWh
Perhitungan biaya pembelian batubara dengan harga DMO untuk nilai kalor 5.600 kcal sebesar 70 USD, namun disaat harga pembelian batubara menggunakan harga pasar sebesar 225 USD/ton batubara dan dengan asumsi heat rate sama yaitu 2.950 kcal dan nilai kurs sama yaitu per 1 $ = Rp. 14.250 maka biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi energi listrik per kWh ,
sebesar : 686 ton x 225 $ x Rp.14.250 x (4.300 /5.600) = Rp 1.688,9/ kWh
Dari dua contoh diatas mengambarkan betapa besar dampak terhadap kenaikan harga batubara terhadap penyediaan energi listrik, baru membandingkan antara harga DMO dengan harga pasar dan menghitung pembelian energi primer (batubara) saja sudah terlihat bahwa kenaikan harga batubara akan mempengahui harga pokok produksi listrik dari PLTU batubara dengan selisih per kWh ,
Sebesar : Rp 1.688,9 – Rp 525,4 = Rp 1.163,5
Sehingga apabila PLTU yang memiliki kapasitas 800 MW dengan heatrate sebesar 2.950 kcal/ kWh dan capacity factor 70 % memproduksi listrik selama 100 hari maka akan menambahkan dana untuk pembelian batubara,
Sebesar : 800 MW x 70 % x 100 hari x 24 jam x Rp. 1.163,5 = Rp. 1.563.744.000.000
Atau sebesar Rp 1,56 Triliun.
Namun apabila diperbandingkan dengan PLTU yang memiliki kapasitas 800 MW dengan heatcrate sebesar 3.950 kcal/ kWh, maka untuk memproduksi listrik 1 kWh membutuhkan batubara : ( 3.950 / 4.300 ) = 0,919 kg . Apabila asumsi yang digunakan sama dengan data diatas , yaitu harga batubara per ton sesuai DMO untuk nilai kalor 5.600 kcal sebesar 70 USD ( kurs 1 $ = Rp, 14,250 ) maka biaya pembelian batubara untuk memproduksi energi listrik sebesar 1 GWh,
Sebesar : (1 GWh x 0,919 kg)/1.000 ton x 70 $ x Rp.14.250 x (4.300 /5.600)
= 919 ton x Rp 997.500 x 0,767
= Rp 703.110.817 / GWh
sehingga biaya pembelian energi primer ( batubara) untuk proses produksi listrik per kWh pada PLTU kapasitas 800 MW dengan heat rate sebesar 3.950 kcal/kWh ,
Sebesar Rp. 703.110.817 /1.000.000 kWh = Rp 703,11/kWh.
Jadi “ apabila terjadi kenaikan heat rate pada PLTU Batubara yang digunakan untuk proses produksi listrik sebesar 1.000 kcal atau dari heat rate 2.950 kcal menjadi 3.950 kcal akan berdampak pada kenaikan konsumsi batubara pada setiap GWh sebesar : ( 919 – 686 ) ton atau 595 ton “ dengan demikian terdapat penambahan biaya pembelian batubara untuk memproduksi energi listrik ,
sebesar Rp 703.110.817 – Rp 525.433.125 = Rp 117.677.692
artinya bahwa setiap produksi 10 GW akibat kenaikan heat rate sebesar 1.000 kcal mengakibatkan penambahan biaya pembelian batubara sekitar Rp 1,17 Milyar.
Untuk itu dalam mengoperasikan pembangkit listrik tenaga uap dengan bahan bakar menggunakan batubara ” semakin besar heat ratenya semakin boros begitu juga semakin kecil heat rate semakin efisien,“ namun tentunya terdapat nilai hate rate yang digunakan sebagai acuan seperti heat rate saat komisioning, heat rate saat first year inspection atau heat rate ketika dilakukan performance test ( overhoul ) terakhir , mengingat performance PLTU batubara karena sudah beroperasi sekian tahun dimungkinkan akan mengalami penurunan .
betul sekali dan terima kasih atas masukannya meski pelanggan yang cerdas tentunya akan memilih sumber listrik yang bersih sehingga ini akan turut serta mengurangi emisi karbon dioksida
Data ini disampaikan untuk memudahkan dalam memberikan pemahaman sehingga dalam analisa tersaji dengan mengunakan asumsi